Studi Kasus: Tanggung Jawab Presiden atas Kebijakan Ad Hoc — KMA 130 dan Polemik Pembagian Kuota Haji 50:50

Studi Kasus: Tanggung Jawab Presiden atas Kebijakan Ad Hoc — KMA 130 dan Polemik Pembagian Kuota Haji 50:50
Oleh: Rd. H. Holil Aksan Umarzen
Pengamat Sosial dan Pemerhati Haji Indonesia
Ketika Aturan yang Dijalankan Justru Menjerat Pelaksananya
Negara hukum yang kuat diukur bukan dari banyaknya aturan yang dibuat, melainkan dari sejauh mana aturan itu melindungi mereka yang taat.
Ironisnya, di Indonesia, pelaksana kebijakan seringkali justru menjadi pihak yang disalahkan ketika kebijakan yang sah menimbulkan konsekuensi hukum.
Inilah yang kini dirasakan oleh ratusan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) setelah pelaksanaan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 130 Tahun 2024 tentang pembagian tambahan kuota haji 50:50 antara haji reguler dan haji khusus.
KMA 130 diterbitkan oleh Kementerian Agama sebagai langkah administratif dan legal untuk menjalankan tambahan kuota yang disepakati antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi.
Namun, kebijakan yang sejatinya bersifat pelaksanaan ini justru menyeret para pelaksana ke ranah penyidikan hukum, diiringi tuduhan “korupsi kuota” dan isu jual beli porsi haji yang menimbulkan persepsi publik keliru terhadap dunia penyelenggaraan haji.
KMA 130: Ad Hoc Legal tapi Dipandang Ilegal?
Secara hukum, KMA 130 merupakan aturan ad hoc, yakni keputusan bersifat sementara yang dibuat untuk mengatur situasi khusus dan mendesak.
Dalam konteks 2024, keputusan ini diperlukan agar tambahan kuota haji dapat segera didistribusikan tanpa mengganggu sistem keberangkatan yang sudah berjalan.
Namun, status ad hoc tidak berarti “tidak sah.” KMA 130 justru memiliki landasan hukum kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, khususnya Pasal 9 ayat (2), yang menegaskan bahwa pembagian kuota merupakan kewenangan Menteri Agama.
Dalam praktiknya, kebijakan ini berjalan lancar, tertib, dan memuaskan. Lebih dari 400 PIHK di seluruh Indonesia berhasil mengatur keberangkatan ribuan jamaah dengan baik di bawah supervisi resmi pemerintah. Dari sudut pandang hukum administrasi negara, pelaksanaan KMA 130 telah memenuhi prinsip legalitas dan tanggung jawab administratif.
Pergeseran Isu: Dari Kebijakan Jadi Tuduhan
Ironisnya, keberhasilan tersebut tidak berumur panjang. Beberapa bulan setelah musim haji berakhir, muncul tuduhan korupsi kuota tambahan yang menyeret sejumlah PIHK ke pemeriksaan hukum. Padahal secara struktur, PIHK tidak memiliki kewenangan membagi kuota dan tidak terlibat dalam desain kebijakan pembagian 50:50 itu sendiri.
Lebih mengkhawatirkan lagi, di tengah proses hukum muncul pula isu jual beli kuota secara paksa yang diduga melibatkan oknum pejabat tinggi di Kementerian Agama. Banyak PIHK mengaku dipaksa memberikan sejumlah uang atau menghadapi ancaman administratif jika tidak memenuhi permintaan tersebut.
Jika hal ini terbukti, maka persoalannya bukan korupsi oleh PIHK, melainkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pihak yang memegang kendali kebijakan. PIHK dalam posisi ini lebih tepat disebut korban tekanan struktural, bukan pelaku tindak pidana. Bahkan, dari perspektif hukum pidana, fenomena ini dapat dikategorikan sebagai pemerasan jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dimana Letak Tanggung Jawab Itu?
Dalam sistem presidensial, setiap menteri adalah pembantu Presiden yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan di bawah koordinasi langsung kepala negara. Artinya, setiap kebijakan menteri merupakan perpanjangan tangan Presiden.
Konstitusi menegaskan hal ini secara jelas:
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945: “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan.”
Pasal 17 ayat (1) UUD 1945: “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.”
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara: “Kementerian dibentuk untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan.”
Dengan dasar itu, tanggung jawab konstitusional atas kebijakan KMA 130 melekat pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Apabila kebijakan yang telah dijalankan secara sah menimbulkan konsekuensi hukum, maka langkah yang tepat bukanlah menghukum pelaksana teknis, melainkan melakukan evaluasi kebijakan di tingkat otoritas pembuat keputusan.
Prinsip ini sejalan dengan Pasal 51 ayat (1) KUHP, yang menegaskan:
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah, tidak dapat dipidana.”
Dengan demikian, pelaksana kebijakan yang bekerja sesuai perintah negara seharusnya mendapat perlindungan hukum, bukan dijadikan tersangka atas kebijakan yang ditetapkan oleh negara sendiri.
Efek Domino bagi Dunia Usaha dan Birokrasi
Dampak dari kasus ini tidak kecil. Ratusan pelaku usaha haji kehilangan kepercayaan publik, ratusan tenaga kerja khawatir kehilangan pekerjaan, dan sebagian besar jemaah mulai ragu terhadap lembaga penyelenggara haji.
Yang paling berbahaya adalah munculnya gejala “ketakutan birokratis” (policy paralysis) — kondisi di mana setiap pelaksana kebijakan enggan mengambil keputusan karena takut disalahkan di kemudian hari.
Jika hal ini dibiarkan, keberanian mengambil keputusan administratif yang cepat dan solutif akan hilang dari birokrasi Indonesia. Padahal, dalam konteks ibadah haji, keputusan cepat sering kali menjadi kunci keberhasilan pelayanan jamaah.
Presiden dan Akuntabilitas Moral Negara
Sebagai kepala pemerintahan, Presiden memikul tiga lapis tanggung jawab atas setiap kebijakan:
1. Konstitusional – memastikan kebijakan dijalankan dalam koridor hukum.
2. Politik – menjaga stabilitas dan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
3. Moral – melindungi warga yang patuh hukum dari kesewenang-wenangan.
Kasus KMA 130 menjadi ujian moral bagi pemerintahan saat ini: apakah negara hadir melindungi pelaksana kebijakan yang menjalankan tugasnya, atau membiarkan mereka terseret dalam pusaran politik hukum yang tidak seimbang?
Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, kepastian hukum merupakan pondasi penting bagi pemerintahan yang berkeadilan. Negara yang maju tidak diukur dari banyaknya aparat yang diperiksa, tetapi dari sejauh mana hukum digunakan untuk melindungi yang taat dan menegakkan keadilan tanpa pilih kasih.
Penutup: Keadilan yang Harus Ditegakkan
KMA 130 telah dijalankan dengan baik oleh ratusan PIHK di seluruh Indonesia. Jemaah telah berangkat, pelayanan berjalan, dan ibadah terlaksana dengan sukses. Kini, tugas negara adalah memastikan bahwa keberhasilan itu tidak berubah menjadi jerat hukum bagi para pelaksana.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi harus mengambil alih tanggung jawab moral dan politik atas kebijakan ini. Hukum tidak boleh menjadi alat penghukuman terhadap mereka yang menjalankan perintah negara dengan amanah. Sebaliknya, hukum harus menjadi pelindung bagi mereka yang berkhidmat untuk umat dan bangsa.
"Sejarah tidak akan mencatat siapa yang disalahkan, tetapi siapa yang berani melindungi kebenaran."
Bandung, 15 Oktober 2025
ttd.
Rd. H. Holil Aksan Umarzen
Ketua – Tim Penyelamat PIHK Indonesia (TPPI)
Tentang Penulis:

Rd. H. Holil Aksan Umarzen adalah Ketua Tim Penyelamat PIHK Indonesia (TPPI),
Ketua Dewan Pengawas Asphurindo ,Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan Inbound Indonesia.
Wakil Ketua Umum PP Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI),
Anggota Pini Sepuh MMS – Majelis Musyawarah Sunda,
Ketua Umum FORKODETADA Jabar, dan
Ketua Umum PM GATRA – Paguyuban Masyarakat Garut Utara.
✦ Tanya AI